Rabu, 03 Desember 2008

USAHA – USAHA ( SAYA ) UNTUK MENINGKATKAN

USAHA – USAHA ( SAYA ) UNTUK MENINGKATKAN
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENUJU KUALITAS KEDUA
( ANTARA TEORI DAN PENGALAMAN )

Sudah cukup lama kita semua terbenam dalam pembelajaran matematika yang bagi banyak siswa terasa menjemukan, formal dan hanya bermain angka atau simbol yang abstrak dan serba tak berarti, bahkan tidak sedikit yang merasa kesulitan dan ketakutan untuk menghadapi pelajaran matematika. Mengapa demikian ? Sebagai seorang guru matematika hal ini haruslah menjadikan suatu refleksi diri untuk berbenah diri dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru matematika khususnya dalam menyajikan pembelajaran matematika di kelas. Kita harus berubah dari pembelajaran matematika tradisional ke pembelajaran matematika yang efektif, inovatif dan kreatif.
Dalam pembelajaran matematika tradisional, guru mengajarkan matematika, siswa mempraktekkan untuk sementara waktu dan kemudian mereka diharapkan dapat menggunakan ketrampilan atau ide-ide yang baru untuk menyelesaikan soal bahkan ketika siswa berkegiatan, guru masih menuntun siswa bagaimana menggunakan materi yang dipelajari untuk mengerjakan latihan soal. Fokus utama pelajaran adalah mendapatkan jawaban. Siswa menyandarkan kepada guru untuk menentukan jawabannya benar ( Teacher center ). Anak-anak yang mendapat pengalaman seperti ini akan mempunyai pandangan bahwa matematika adalah sederetan aturan yang tidak ada polanya yang di bawa guru. Akibatnya siswa dijauhkan dari pengetahuan yang sebenarnya sangat baik.
Pedekatan semacam itulah yang memberikan pandangan yang salah terhadap matematika. Hal ini sangat tidak menyenangkan. Hanya sedikit siswa yang baik dalam belajar aturan dan memperoleh nilai baik, tetapi mereka bukanlah pemikir terbaik di dalam kelas. Pendekatan pembelajaran tradisional menghargai belajar aturan tetapi memberi sedikit kesempatan untuk mengerjakan matematika. ( John A. Van De Walle, 2008 ).
Pembelajaran matematika yang efektif adalah pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa, dimulai dari mempertimbangkan bagaimana kondisi anak atau dimulai dari ide-ide yang telah dimiliki oleh anak. Ide-ide ini akan digunakan untuk membuat ide baru. Agar anak-anak terlibat dalam pembuatan atau mengkonstruksi ide-ide baru diperlukan tugas atau kegiatan siswa yang memerlukan pemikiran. Melalui tugas atau kegiatan siswa tersebut, siswa harus mengembangkan pemahamannya sendiri. Pemahaman mereka dan rasa percaya diri mereka akan tumbuh sebagai hasil dari dilibatkannya mereka dalam mengerjakan matematika. Melibatkan siswa dalam mengerjakan matematika sehingga siswa dapat membuat dan mengembangkan ide-ide baru yang dapat mereka gunakan dan pahami selanjutnya mereka dapat melihat bahwa matematika itu realistis/masuk akal melalui penglihatan mereka sendiri dan dapat mempercayainya karena mereka mampu mengerjakannya.
Seorang guru matematika harus memahami karakteristik/ciri-ciri dari matematika sekolah yang merupakan bagian dari matematika itu sendiri yang dipilih untuk atau berorientasi pada kepentingan pendidikan dalam hal ini disesuaikan dengan perkembangan anak. Menurut Prof. R. Soedjadi, 2007, karakteristik/ciri-ciri matematika sekolah adalah sebagai berikut :
· Matematika sekolah memiliki obyek kajian yang konkret dan juga abstrak.
· Bertumpu pada kesepakatan (termasuk penekanan kepada aksioma self evident truth).
· Berpola pikir deduktif dan juga induktif.
· Konsisten dalam sistemnya (termasuk sistem yang dipilih untuk pendidikan).
· Memiliki/menggunakan simbol yang kosong dari arti dan juga yang telah memiliki arti tertentu.
· Memperhatikan semesta pembicaraan (bahkan juga digunakan untuk pembatasan bahan ajar matematika, sesuai kelas tertentu).
Berdasarkan dari uraian di atas, usaha-usaha saya untuk meningkatkan pembelajaran matematika menuju kualitas kedua adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan pendekatan pembelajaran kontektual yaitu memberikan masalah kontektual yang meliputi pemanfaatan lingkungan yang dekat dengan kehidupan anak didik, masalah nyata/real, masalah dapat memuat “pengetahuan yang mudah/dapat dibayangkan anak”.
2. Menggunakan pendekatan pembelajaran kontruktivisme yaitu siswa mengkonstruksi/membangun sendiri pengetahuan mereka sendiri. Alat-alat yang digunakan untuk membangun pemahaman adalah ide-ide yang telah ada, yakni pengetahuan yang telah siswa miliki. Material/bahan yang digunakan adalah apa yang siswa lihat, dengar atau sentuh di sekitarnya atau sebagian material adalah pemikiran/ide siswa sendiri. Usaha yang harus dilakukan adalah berfikir secara aktif dan reflektif.
3. Menggunakan/membuat alat peraga/LKS dalam pembelajaran matematika sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran.
4. Menerapkan model pembelajaran kooperatif/pembelajaran secara berkelompok. Walaupun belajar adalah proses reflektif dan internal, tetapi anak-anak dapat menguji, mengungkap, memodifikasi, dan mengembangkan ide-ide baru melalui interaksi dengan anak-anak lain dan para guru.
5. Mengembangkan sumber belajar sendiri disesuaikan dengan kondisi siswa.

DAFTAR PUSTAKA
John A. Van De Walle, (2008). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Prof. R. Soedjadi, (2007). Masalah kontektual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.

Tidak ada komentar: